a


322

Selasa, 18 September 2012

Mengkritisi Uji Kompetensi Guru

PROGRAM sertifikasi guru merupakan amanat Undang-undang tentang Guru dan Dosen. Tujuannya, mendongkrak mutu dan derajat kesejahteraan guru. Namun, implementasi program sertifikasi ini masih menyisakan banyak masalah. Minimal ada satu pertanyaan yang pantas direnungkan kalangan guru, dicamkan asesor, juga komponen penanggung jawab dunia pendidikan lainnya: Apakah sertifikasi sungguh sudah dijalankan sesuai amanat undang-undang?

Sebetulnya, profesi guru memikul tugas berat. Hanya saja selama ini cenderung dikesankan hanya sebagai pengajar di kelas. Padahal, guru sejatinya pun seorang pembimbing dan administratur kelas. Namun, fungsinya sebagai pengajar saja masih menyisakan masalah di lingkungan profesi guru.

Sebagai pengajar, ada beberapa kompetensi yang harus bercermin dalam diri tiap guru. Guru harus memiliki pengetahuan, keterampilan, dan perilaku profesional dalam menjalankan tugasnya mengajar di kelas. Guru harus mampu membangun interaksi positif dengan siswa dalam proses belajar mengajar. Kompetensi ini harus didukung sarana dan prasarana pendidikan yang memadai.

Kenyataannya justru masih ada guru yang belum menjalankan tugas profesionalnya itu. Pengetahuan, keterampilan, dan perilaku profesional mereka ini masih jauh panggang dari api. Misalnya, guru di pelosok perdesaan yang terisolir. Pengetahuan, keterampilan, dan perilakunya rata-rata tertinggal jauh guru di perkotaan. Akses informasi mereka masih terbatas, kesempatan mengikuti pelatihan keterampilan tak seluas guru di perkotaan, juga perilaku profesional mereka belum sesuai harapan.

Tetapi, kurangnya pengetahuan, keterampilan, dan perilaku profesional guru juga tak jarang diberitakan muncul di lingkungan lembaga pendidikan di perkotaan. Padahal, guru di perkotaan jauh lebih mudah mengembangkan mutu profesionalitasnya, baik pengetahuan, keterampilan, maupun perilakunya. Akses dan fasilitas untuk mengembangkan mutu profesionalitas tugasnya jauh lebih baik.

Ada tengara kurangnya mutu profesional sementara guru itu disebabkan derajat kesejahteraannya masih minim. Hal ini lebih khusus berkaitan dengan minimnya mutu pengetahuan dan keterampilannya. Akibatnya, mereka tidak dapat mengerjakan tugasnya secara utuh. Mereka terpaksa harus menjalankan pekerjaan lain di luar tugas utama sebagai guru untuk menafkahi keluarganya. Hal ini jelas menyita waktu sehari-harinya, sehingga kesempatan mereka membaca dan menulis amat sedikit. Guru di perkotaan yang sibuk mencari nafkah tambahan pun mungkin saja amat terbatas waktunya mengakses informasi melalui sarana teknologi canggih.

Faktor mutu lulusan pendidikan keguruan juga bisa menyiasakan masalah. Ada sementara lembaga pendidikan keguruan yang asal mencetak lulusan. Mereka terkesan belum cukup dibekali etika yang mumpuni. Proses kuliah bisa jadi lebih menonjolkan kuantitas dibandingkan kualitas hasil. Apalagi semua perguruan tinggi, termasuk lembaga pendidikan keguruan dikejar-kejar target merekrut mahasiswa sebanyak-banyaknya akibat mengemukanya sentimen komersialisasi pendidikan.

Program sertifikasi memang menjadi tawaran bagus untuk memperbaiki mutu dan kesejahteraan guru. Guru yang lolos uji sertifikasi atau akreditasi tentu akan memperoleh tunjangan profesi yang lumayan besar. Derajat kesejahteraan mereka tentu akan lebih baik dibandingkan tanpa bekal sertifikat profesi.

Namun, apakah guru yang bersertifikasi itu otomatis bermutu kemampuan profesionalnya. Ini terutama jika dikaji lagi mutu pengetahuan, keterampilan, dan perilaku moral profesionalnya. Di sini, uji kompetensi yang dilakukan kalangan asesor perlu mendapat sorotan kritis. Uji sertifikasi yang dikawal kalangan asesor jangan sampai dicemari kepentingan asal meluluskan guru di luar standar kompetensi yang diamanatkan aturan main.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar